Sekolahku Dulu
(Karya: M Rayhan Sultan Deyis)
Namaku Burhan, kini aku duduk di bangku kuliah di salah satu kampus terkenal di Bandung, kini hanya setumpuk kertas yang bernama skripsi yang perlu ku selesaikan sehingga aku memperoleh gelar sarjana itu, berbekal laptop merah kecil hadiah pemberian ayah sewaktuku masih berusia 9 tahun, tak terasa memang makin lama diriku makin besar.
Burhan itulah namaku, nama pemberian dari seorang ayah yang gemar membaca pula. Aku memiliki 3 adik, 2 laki-laki dan 1 perempuan, sejak kecil orang berkata bahwa aku adalah anak yang pendiam padahal sebenarnya diriku memiliki sejuta perasaaan yang ingin ku ungkapakan, namun bagaimana sejak kecil memang aku sudah terlatih untuk tidak perlu berbicara yang banyak, cukuplah bicara seperlunya.
Ayahku hanyalah seorang pegawai disalah satu bank tak terkenal di jakarta, ibuku hanya sekedar ibu rumah tangga. Namun sejuta kasih sayang mereka berikan kepada diriku dan adik-adikku sehingga cukuplah bagi kami untuk hanya sekedar bercanda ria di rumah, tak perlu pergi ke kota untuk bertamasya ke gedung yang menjulang tinggi itu.
Ya, Burhan nama yang sangat bermakna bagi diriku. Ada sebuah perasaan yang sangat ingin ku lontakan saat aku masih duduk di bangku SMP. Diriku memang bukanlah pendiam hanya saja tidak ingin terlalu mencari sensasi atau ulah. Sahabatku bahkan lebih dari sahabat Nidya namanya sebuah nama yang indah yang selalu terniang dalam pikirku dimanapun. Ia memang berbeda dengan yang lain, seorang anak perempuan yang sangat anggun, periang, namun tak banyak ulah. Suatu saat pernah salah seorang anak baru laki-laki masuk dari utusan kepala katanya berlaga seperti artis papan atas, putih, dan gendut bernama Mustafa mengganggu seorang Nidya, sehingga Nidya pun menceritakan pada diriku, langsung tanpa pikir panjang ku cari anak itu, anak yang sok-sok an berlaga orang metropol itu. Ingin sekali ku tendang rasanya namun, Nidya melarang diriku, ya apa boleh buat memang telalu baik seorang Nidya dia memang anak perempuan yang unik bagiku. Ingin kuungkapkan perasaanku kepada dirinya namun apadaya, diriku tak bisa, mungkin kan kusampaikan saat kuliah nanti.
Sekolah menengah kami merupakan sekolah negeri, terletak di sebelah utara kota metropol ini, setiap pagi lalu lalang mobil dan motor selalu memekakkan telinga. Sekolah yang diakui sebagai sekolah terbaik di Jakarta. Padahal jika perasaanku ingin kulontarkan "Ini hanyalah sekolah dengan casing Iphone isi Cross" Karena memang hanya luarnya saja yang tampak bagus padahal isinya hanyalah kepala dan anggota sekolah yang mengemis duit melalui lembaga pemerintah. Memang tidak adil rasanya, sekolah kami dipimpin oleh seorang ibu benama Yansa ia memang kelahiran darah sumatera, ibu kepala yang selalu memberikan pidatonya panjang lebar bahkan sampai temanku pingsan tetap dirinya semburkan omongannya itu di depan mic hitam di lapangan. Guru BK kami sbenarnya banyak namun hanya 2 yang terkenal sebagai ikon kegarangan guru, laki-laki dan perempuan. Bapak Rama dan Ibu Ina namanya, aku memang gemar ikut berbagai organisasi sampai suatu saat ku berikan proposal kepada beliau namun tak diizinkan tapi ada satu hal yang dapat membuat diri mereka mau menandatangani proposal itu yaitu amplop.
Orang-orang di dalam sekolah itu memang tampak baik dan berwibawa padahal tanpa diketahui, mereka meminta-minta dari kami. Pernah suatu saat ada anak kaya yang berlimpah ruah orang tuanya menghadap kepala sekolah mengatak "Ibu mau apa saja, saya kasih" itu ujar orang tua murid tersebut. Ya memang benar anak itu sangat diprioritaskan di sekolah, semua kebutuhannya dilayani, bahkan konsultasi saja kepala sekolah yang langsung melayani anak itu. Kasihan memang ada temanku bernama Doni ia anak yang sangat pintar Ranking satu didapatnya terus menerus namun tak ada apresiasi dari sekolah sementara anak kaya itu selalu dipamerkan kebaikannya di setiap pidato Bu Yansa itu.
Aneh memang namun apa daya aku tak kan membocorkan rahasia sekolah itu, cukup diriku saja yang tahu melihat teman-teman mendapat perlakuan yang berbeda dari pihak sekolah. Oleh karena itu kuhanya mampu menuliskan perasaan itu di laptop merah pemberian ayahku. Semoga saja pemerintah tahu akan ini.